Gangguan Somatoform

(Image by Freepik)

Gangguan somatoform merupakan kelainan psikologis pada seseorang yang ditandai dengan sekumpulan keluhan fisik yang tidak menentu, namun tidak tampak saat pemeriksaan fisik. Orang yang mengalami gangguan somatoform dapat merasakan beragam gejala, seperti sakit dada, sakit punggung, lelah, pusing, atau tidak enak badan di bagian tubuh tertentu. Namun, setelah diperiksakan ke dokter, tidak ditemukan kelainan secara fisik. Gejala gangguan somatoform terkadang bisa ditelusuri hubungannya dengan kondisi fisik tertentu, namun seringkali tidak ada pemicunya. Orang yang memiliki gangguan somatoform tidak dapat memalsukan gejala yang mereka alami. Stres yang muncul karena rasa sakit sangat nyata, meskipun tidak ada penjelasan fisik ditemukan. Bahkan, gejala yang muncul sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Somatoform disorder atau gangguan somatoform adalah kondisi psikologis yang menyebabkan satu atau banyak gejala pada tubuh. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan dan mengganggu aktivitas sehari-hari dari penderitanya.

Penyebab Somatoform Disorder

(Image by Freepik)

Gangguan somatisasi disebabkan oleh pikiran individu. Individu merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya sehingga menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang negatif dan keyakinan irasional tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang rnenyebabkan individu merasa bahwa jika adanya tekanan, stress, terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energi dan tenaga serta ketidak percaya diri dengan kemampuan dirinya maka dapat memunculkan rasa sakit dan menganggap hal tersebut dapat mengancam atau membahayakan dirinya. Timbulnya gangguan somatisasi ini dapat terjadi karena adanya konflik intrapsikis, masalah hubungan interpersonal atau masalah lingkungan dan sosial, serta bentuk kecenderungan pada individu untuk mengekspresikan atau mengkomunikasikan pengalaman psikologis yang tidak mengenakkan ke dalam gejala-gejala fisik dan untuk meyakinkan orang lain bahwa dirinya sakit dengan jalan individu mencari bantuan medis untuk dirinya (Ford, 1986). Hal ini senada dengan pendapat Edelman (Kendal dan Hammen, 1998) yang menyatakan bahwa individu yang mengalami gangguan somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distress yang dimanifestasikan dalam bentuk gejala fisik atau keluhan fisik akan tetapi tidak ada bukti medis.

Escobar (1987; 1996) menyatakan bahwa somatisasi merupakan bentuk gejala-gejala fisik akan tetapi secara organis tidak ada bukti patologis, baik dengan evaluasi laboratorium maupun medis. Dikatakan lebih lanjut bahwa keluhan fisik tersebut terjadi karena ada hambatan untuk mengkomunikasikan keadaan emosi yang dialami individu dan merupakan bentuk penghindaran diri dari konflik emosional (Scicchitano dkk, 1996). Bagi individu yang normal keluhan yang sering muncul adalah kelelahan dan rasa lemas atau kekurangan tenaga (Kellner,1986) dengan prevalensi keluhan tersebut mencapai 20 sampai 40 persen (Kellner, 1994). Hasil penelitian Isaac dkk.,(1995) menunjukkan bahwa yang sering dikeluhkan subjek yang menderita gangguan somatisasi adalah sebagian besar gangguan usus besar atau pencernaan makanan. Somatisasi dapat dikatakan sebagai bentuk pemanfaatan tubuh untuk tujuan psikologis yang sering tampak yaitu pemindahan perasaan yang tidak menyenangkan dalam bentuk gejala-gejala fisik seperti tidak berfungsinya usus besar sebagai perwujudan dari perasaan tertekan. Di samping itu somatisasi dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan suatu pemikiran atau perasaan melalui sarana simbolis seperti kelumpuhan yang sifatnya histeris untuk menyimbolkan dan mengkomunikasikan perasaan tidak berdaya. Bentuk lain dari tujuan somatisasi adalah untuk tujuan pribadi dengan jalan memanipulasi hubungan antar pribadi, untuk menghindari tugas dan tanggung jawab sosial dan untuk mendapatkan keuntungan materi setelah terjadi kecelakaan, seperti untuk mendapatkan asuransi dan yang tak kalah penting adalah untuk mendapatkan simpati atau perhatian dari orang lain (Ford, 1983).

Penyebab gangguan somatoform

(Image by Freepik)

Penyebab gangguan somatoform tidak diketahui dengan jelas, namun beberapa faktor diduga menjadi pemicunya. Berikut adalah beberapa faktor yang mungkin menjadi pemicu gangguan gejala somatik atau somatoform disorder:

1.  Faktor genetik dan biologis, seperti hipersensitivitas terhadap rasa sakit.

2.  Pengaruh keluarga, dapat bersifat genetik atau dapat disebabkan faktor lingkungan, atau kombinasi dari keduanya.

3.  Sifat kepribadian negatif, kondisi ini dapat memengaruhi cara seseorang mengidentifikasikan dan merasakan penyakit dan gejala tubuh.

4.  Penurunan kesadaran atau masalah memproses emosi, menyebabkan fokus pada gejala fisik dibandingkan masalah emosional.

5.  Perilaku yang dipelajari, usaha untuk mendapatkan perhatian lebih dan manfaat lain dari gejala penyakit yang dialami, seperti tidak harus melakukan kegiatan tertentu karena dianggap dapat memperparah gejala.

Faktor risiko lain dari gangguan gejala somatik meliputi:

(Image by storyset on Freepik)

1.  Mengalami kecemasan atau depresi

2.  Memiliki kondisi medis atau pulih dari satu

3.  Beresiko mengembangkan kondisi medis, seperti memiliki riwayat penyakit keluarga yang kuat

4.  Mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan, trauma atau kekerasan

5.  Pernah mengalami trauma masa lalu, seperti pelecehan seksual masa kanak-kanak.

6.  Memiliki tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi yang rendah.

Gangguan Somatoform bukan merupakan Malingering, yaitu bukan merupakan kepura-puraan sintom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil eksternal yang jelas, misalnya menghindari hukuman, mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Bukan pula merupakan factitious/gangguan buatan, yaitu gangguan yang ditandai oleh pemalsuan sintom psi’s atau fisik yang disengaja tanpa keuntungan yang jelas atau untuk mendapatkan peran sakit

Gejala Gangguan Somatoform

(Image by storyset on Freepik)

Beberapa jenis gejala gangguan somatoform di antaranya:

1.    Illness anxiety disorder

Rasa cemas berlebihan ketika merasa menderita penyakit yang serius. Keluhan minor dianggap sebagai masalah medis besar, contohnya sakit kepala ringan dianggap sebagai gejala tumor otak.

2.    Conversion disorder

Kondisi ini akan didiagnosis ketika orang dengan gangguan somatoform mengalami gejala yang tidak ada pemicunya secara fisik, seperti paralisis, gerakan abnormal (tremor/kejang), kebutaan, kehilangan pendengaran, hingga mati rasa.

3.    Pseudocyesis

Keyakinan yang salah bahwa seorang perempuan tengah mengandung, termasuk merasakan gejala-gejalanya dengan nyata. Contohnya merasa ada perubahan ukuran perut, payudara, juga mual dan muntah.

4.    Body dysmorphic disorder

Fokus berlebihan pada perubahan fisik yang tidak benar-benar terjadi, biasanya hanya di bagian tubuh tertentu.

5.    Somatization disorder

Biasanya terjadi pada orang berusia di bawah 30 tahun dan tetap ada selama bertahun-tahun. Gejala ini umumnya meliputi kombinasi beberapa gejala seperti rasa nyeri, pencernaan tak nyaman, mati rasa, hingga disfungsi seksual.

6.    Pain disorder

Seseorang merasa nyeri terus-menerus di area tubuh tertentu meski tidak ada penyakit fisik yang dideritanya.

Macam-Macam Gangguan Somatoform

(Image by KamranAydinov on Freepik)

  • Gangguan Nyeri (Pain Disorder)

Pada gangguan ini individu akan mengalami gejala sakit atau nyeri pada  satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan  dengan  pemeriksaan  medis (non psikiatri) maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan strees emosional ataupun gangguan fungsional, dan gangguan ini dianggap memiliki  hubungan sebab akibat dengan faktor psikologis. Keluhan yang dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi. Dengan kata lain, faktor psikologis mempengaruhi kemunculan, bartahannya, dan tingkat keparahan gangguan. (Fausiah, Widury, 2005:26)

  • Body Dysmorphic Disorder

Definisi gangguan ini adalah preokupasi dengan kecacatan tubuh  yang  tidak nyata (misalnya hidung yang dirasakannya kurang mancung), atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan tubuh yang minimal atau kecil. Perempuan lebih cenderung untuk memfokuskan pada bagian kulit, dada, paha, dan kaki. Sedangkan pria lebih terfokus pada tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh. (Fausiah, Widury,2005:27)

  • Hipokondriasis

Kata “hipokondriasis” berasal dari istilah medis lama ”hypochondrium”, yang berarti di bawah tulang rusuk, dan mereflesikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien hipokondriasis. Hipokondriasis adalah hasil interpretasi pasien yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap simtom atau sensasi. Sehingga mengarah pada preokupasi dan ketakutan bahwa  mereka memiliki gangguan yang parah, bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang ditemukan. Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang serius  dan  belum dapat dideteksi, dan tidak dapat dibantah dengan  menunjukkan kebalikannya. (Fausiah, Widury,2005:28) Gangguan ini biasanya dimulai pada awal masa remaja  dan  cenderung  terus berlanjut. Individu yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan pelayanan kesehatan, bahkan terkadang mereka menganggap dokter mereka tidak kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, kring, 2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi fisik yang umum dan gangguan kecil,  seperti detak  jantung  yang  tidak  teratur,  berkeringat,  batuk  yang  kadang  terjadi,  rasa sakit,   sakit   perut,   sebagai   bukti   dari   kepercayaan  mereka.  Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan gangguan kecemasan dan mood. (Ardani, 2010 : 96)

Tanda dan gejala penyakit Hipokrondria termasuk :

a.  Ketakutan atau kecemasan yang berlebihan mengalami penyakit tertentu

b.  Khawatir bahwa gejala minor berarti memiliki penyakit yang serius.

c.  Mencari mengulangi ujian atau konsultasi medis

d.  Sering berganti dokter

e.  Frustrasi dengan dokter atau perawatan medis

f. Hubungan sosial tegang

g.  Gangguan emosi

h.  Sering memeriksa tubuh untuk masalah-masalah, seperti benjolan atau luka

i.     Sering memeriksa tanda-tanda vital seperti denyut nadi atau tekanan darah

j.   Ketidakmampuan diyakinkan oleh ujian medis

k.  Berpikir mempunyai penyakit setelah membaca atau  mendengar  tentang hal itu

l.   Menghindari  situasi  yang  membuat  merasa  cemas,  seperti  berada  di rumah sakit

  • Gangguan Konversi

Gangguan konversi menurut DSM IV (Kaplan, sadock, & Grebb, 1991) adalah gangguan dengan karakteristik munculnya satu atau beberapa simtom neurologis yang ada. (fausiah, widury,2005: 29).Pada conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya system saraf, padahal organ tubuh dan system saraf individu tersebut baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan. Gejala conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya  muncul  setelah  adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.  Conversion disorder biasanya    berkaitan    dengan   diagnosis    Axis    1    lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian. (Ardani,2011:96)

  • Gangguan Somatisasi

Gangguan ini sifatnya kronis (muncul selama beberapa tahun dan terjadi sebelum usia 30 tahun), dan berhubungan dengan strees psikologis yang signifikan, hendaya dalam kehidupan sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari pertolongan medis yang berlebihan. (Fausiah, Widury,2005:33). Ciri utamanya adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-macam, berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa  tahun sebelum pasien datang ke psikiatri. Kebanyakan pasien mempunyai riwayat pengobatan yang panjang dan sangat kompleks, baik  ke  pelayanan  kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil pemeriksaan atau bahkan operasi yang negative. Keluhannya dapat mengenai setiap system atau bagian tubuh manapun, tetapi yang paling lazim adalah yang mengenai keluhan gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, muntah, mual, dsb) dan keluhan-keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa terbakar, kesemutan, pedih) serta bercak-bercak pada kulit.

Mengatasi Gangguan Somatoform

(Image by kjpargeter on Freepik)

Penatalaksanaan psikosomatis atau somatoform disorder sebaiknya fokus pada perbaikan tilikan diri pasien, di mana pasien menyadari bahwa gejala-gejala yang dialami adalah manifestasi dari stressor psikologis. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mendiskusikan gejala yang dialami, dengan menghubungkan stressor psikososial yang dimiliki pasien.

Psikoterapi

(Image by tirachardz on Freepik)

Psikoterapi yang bisa diberikan kepada pasien psikosomatis adalah cognitive behavioural therapy (CBT), yang bertujuan untuk memperbaiki distorsi kognitif, serta mengurangi stress, pemeriksaan medis, dan depresi. Fokus CBT adalah pada usaha-usaha untuk memodifikasi distorsi kognitif, keyakinan yang tidak realistis, kecemasan, dan perilaku yang memicu timbulnya gejala.

Psikoterapi lain yang bisa diberikan adalah terapi perilaku untuk mempertahankan fungsi sosial dan pekerjaan yang semula dihalangi oleh gejala somatik. Psikoterapi perilaku yang dapat dilakukan dokter umum adalah token ekonomi (reward and punishment). Dimana hal ini mengajarkan kepada pasien untuk memberi reward kepada diri sendiri bisa target perilaku tertentu tercapai, misalnya menyelesaikan pekerjaan meskipun mengalami nyeri lambung, dan reward ditunda bila target tidak terpenuhi. Terapi lain yang bisa diberikan adalah relaksasi, misalnya dengan deep breathing dan progressive muscular relaxation. Semua bentuk psikoterapi yang dilakukan juga dapat diberi selingan dengan psikoterapi suportif.

  1. Terapi Pain Disorder

Pengobatan yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:

a. Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya  ada  dalam pikiran penderita

b. Relaxation training

c. Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri

Secara umum disarankan untuk megubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi strees, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan control diri. (Ardani, 2011:98)

  • Terapi Hypochondriasis

Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan biasnya kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et  al.,  dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).(Ardani, 2010:99 ).

Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan  penderita  gangguan   ini   dari   gejala-gejala   tubuh dan  meyakinkan mereka     untuk     mencari     kepastian     medis     bahwa     mereka     tidak sakit (e.g.Salkovskis & Warwick, 1986; Visser&Bouman, 2001 ;Warwick & Salkovskis, 2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). (Ardani, 2010 : 99)

  • Terapi Somatization Disorder

Pada ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang diasosiakan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan,  bagi  orang  yang “sakit” sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan  ketergantungan untuk menghindari tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder, hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dari obat-obatan , mempertahankan hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya atau tidak. (Ardani, 2011:99)

Oleh : Basilia S.W

DAFTAR PUSTAKA.

Ardani, Ardi Tristiadi. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung: CV Lubuk Agung

Barsky, A. J. 1992. Amplification, Somatization, and The Somatoform Disorder. Psychosomatics. 33; 28-33.

Bell, I. R. 1994. Somatization Disorder: Health Care Costs in The Decade of Brain.  Journal of Biological Psychiatry, .35: 81-83. https://www.academia.edu/20216616/PS_ABNORMAL_JURNAL, 29 Desember 2022

Davison, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. 2004. Abnormal Psychology. United States Of America : John Wiley & Sons. (Ninth Edition)

Davison, G. C & Neale, John M. 1978. Abnormal Psychology. 8 th edition. New York : John Wiley & Son

Escobar, J. I. 1996. Pharmalogical Treatment of Somatization. Psychopharmacology Bulletin. 32.4: 589-596

Escobar, J. I. 1987. Cross Cultural Aspects of Somatization Trait. Journal Hospital and Community. February. 38. 2. 74-180

Fausiah, F, Widury, J. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta : UI Press

Ford, C. V. 1986. The Somatizing Disorder. Psychosomatics, 27: 327- 337.

Ford, C.V. 1983. The Somatizing Disorder. Illness as A Way of Life. New York: Elsevier Science Publishing Co. Inc.

Halgin, P. Richard, Susan Krauss Whitbourne. 2010. Abnormal Psychology : Clinical Perspective on Psychological Disorders, 6th ed. Salemba Humanika

Isaac, M., Janca, A., Burke, K.C., Silva, J. A.C., Acuda, S.W., Altamura, A.C., Burke, J.D., Chandrashekar, C.R., Miranda, C.T., Tacchini, G. 1995. Medically Unexplained Somatic Symptoms in Different Cultures. Journal Psychotherapy Psychosomatic. 64: 88-93.

Kaplan, H.I., Sadock, B.J., Grebb, J.A. (1991). Synopsis of psychiatry. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins. p 389

Kellner, R. 1994. Psychosomatic Syndromes, Somatization and Somatoform Disorder. Psychotherapy and Psychosomatic. 61: 4-24

Kellner, R. (1986). Somatization and Hypochondriasis. New York: Praeger.

Kendall, P.C. Hammen, C. 1998. Abnormal Psychology: Understanding Human Problem. Second Edition. New York: Houghten Mifflin Company

Kroenke, K. 2007. Efficacy of Treatment for Somatoform Disorders : A Review of Randomized Controled Trials, Psychomatic Medicine, 69 (9), 881 – 888

Maramis, Albert A., Willy F. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. Airlangga University Press (AUP)

Mayou, R. 1993. Somatization.  JournalPsychotherapy Psychosomatic. 59:69-83. https://www.academia.edu/20216616/PS_ABNORMAL_JURNAL, 29 Desember 2022

Menza, Lauritano, Allen, Warman,Ostella, Hmaer, & Escobar, 2001. Treatment of somatization disorder with nefazodone : A prospective, open-label study. Journal Annals of Clinical Psychiatry, 19, 251-258

Salkovskis, P. M. & Warwick, H., (2001). Making sense of hypochondriasis: a cognitive theory of health anxiety. In: Asmundson, G., Taylor, S. and Cox, B. J., eds. Health Anxiety: Clinical and Research Perspectives on Hypochondriasis and Related Conditions. New York: Wiley, pp. 46-64

Salkovskis, P.M., & Warwick, H.M., (1986). Morbid preoccupations, health anxiety and reassurance: a cognitive-behavioural approach to hypochondriasis. Behaviour Research and Therapy; 24(5):597–602

Scicchitano. J., Lovell. P., Pearce, R., Marley. J. & Pilowsky. I. 1996. Illness Behavior and Somatization in General Practice. Journal of Psychosomatic Research. 41. 3: 247-254

Visser, S. & Bouman, T.K. (2001). The treatment of hypochondriasis: Exposure plus response prevention vs cognitive therapy. Behaviour Research and Therapy, 39 (4), 423-442

Wyshak, G., & Barsky, A. (1995). Satisfaction with and effectiveness of medical care in relation to anxiety and depression: Patient and physician ratings compared. General Hospital Psychiatry, 17(2), 108–114. https://doi.org/10.1016/0163-8343(94)00097-W, 29 Desember 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *